Sabtu, 18 Februari 2012

James Nachtwey, Menjadi Saksi


Warphoto 04
James Nachtwey adalah salah satu fotografer jurnalisme (perang) terbaik di dunia. Penerima World Press Photo Award di tahun 1994 ini telah berkelana keberbagai belahan dunia untuk menjadi saksi dari bermacam tragedi besar yang terjadi.
Dari pembantaian etnik di Rwanda, musibah kelaparan di Afrika, kejatuhan rezim Suharto di negeri kita sampai runtuhnya menara WTC di tahun 2001.
Dalam kata-katanya sendiri:
I have been a witness, and these pictures are my testimony.
The events I have recorded should not be forgotten and must not be repeated.
Saya telah menjadi saksi, dan foto-foto ini adalah kesaksian saya.
Tragedi yang saya abadikan tidak boleh dilupakan dan tidak boleh terulang
Saat di Indonesia, selain meliput runtuhnya kejatuhan Suharto, Nachtwey juga menghabiskan waktu bersama satu keluarga miskin yang hidup di bantaran rel kereta api di Jakarta. Bapak dari keluarga ini telah kehilangan satu kaki dan satu tangan akibat kecelakaan kereta. Saat foto-foto liputannya tentang keluarga tadi dimuat di surat kabar internasional, bantuan mengalir dari berbagai pihak untuk keluarga malang tersebut sehingga akhirnya keluarga ini bisa hidup secara layak.
Indonesia 1998 - James Nachwey
Dalam sebuah liputan di Somalia, dimana konflik antar suku pecah. Nachtwey menyaksikan bagaimana kelaparan dijadikan sebagai senjata pemusnah massal untuk mengalahkan suku yang berlawanan. Mereka menjarah ternak dan lahan pertanian musuhnya. Akibatnya ratusan ribu orang meninggal dunia dengan perlahan secara mengenaskan akibat kelaparan.
Somalia 1992 - James Nachwey
Setelah menyaksikan berbagai tragedi, muncul pertanyaan, apakah yang dirasakan Nachtwey, adakah pertentangan batin berkecamuk dalam dirinya? Dia mengaku, sangat sulit untuk tidak merasa frustasi dan marah melihat dan melalui semuanya. Namun tanggung jawabnya sebagai seorang jurnalis menguatkan hatinya. Dalam kata-katanya sendiri:
One of the things I had to learn as a journalist was what to do with my anger.
I had to use it, channel its energy, turn it into something that would clarify my vision, instead of clouding it.
Salah satu yang harus saya pelajari sebagai seorang jurnalis adalah apa yang yang harus saya lakukan dengan perasaan marah yang muncul dalam diri saya. Saya harus memanfaatkannya, menyalurkan energinya supaya bisa memperjelas visi saya dan bukannya memperkeruhnya
Dalam kutipan lainnya, Nachtwey berkata:
Every minute I was there, I wanted to flee.
I did not want to see this.
Would I cut and run, or would I deal with
the responsibility of being there with a camera
Setiap menit saya berada disana, saya ingin berlari.
Saya tidak ingin menyaksikan (tragedi) ini.
Haruskah saya berhenti lalu berlari, atau haruskah saya meneruskan
tanggung jawab saya untuk tetap disini mengabadikannya dengan kamera saya

Satu hal yang terngiang adalah kata-kata Nachtwey di akhir pidato-nya :
Photographers go to the extreme edges of human experience to show people what’s going on. Sometimes they put their lives on the line, because they believe your opinions and your influence matter.
Fotografer menjelajahi batas-batas ekstrim pengalaman manusia untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Terkadang mereka mempertaruhkan nyawa, karena mereka yakin bahwa opini dan tekanan dari anda (setelah menyaksikan tragedi melalui foto yang kami rekam) memiliki pengaruh yang besar
Foto menggugah emosi dengan cara yang sangat kuat, apalagi foto-foto tragedi dramatis seperti halnya perang, penindasan ataupun kelaparan. Dengan mengabarkan kejadian yang sebenarnya melalui foto, para fotografer ini telah membantu menghentikan ketidakadilan, pemerkosaan atau pembunuhan massal yang seringkali terlewatkan oleh kita, masyarakat awam. Kita akan kesusahan membayangkan betapa tragisnya tragedi kelaparan di Afrika, atau betapa korban tsunami membutuhkan bantuan kita tanpa pernah menyaksikan foto-foto yang anda lihat di internet, koran maupun media lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar